RENUNGAN

Merasa Berhasil dan atau Merasa Gagal

H. Sutan Zaili Asril
Apa sesungguhnya keberhasilan (succes) dan atau kegagalan (failure) itu? Apa kita selalu mengukur keberhasilan dan atau kegagalan kita, dan atau cukup menyatakan keberhasilan!? Apakah makna dari keberhasilan dan atau kegagalan? kadang kala kita dapat mengetahui dengan cermat bahwa kita berhasil atau gagal —ada berbagai fkriteria yang dapat digunakan, dan sebaliknya ada kalanya kita menyatakan secara abstrak/kualitatif bahwa kita berhasil, tapi, sejujurnya berkata jujur pada diri sendiri/ dalam lubuk pikiran dan hati yang dalam kita mengatakan kepada diri kita sendiri dan diperlukan keberanian yang cukup untuk mengatakan: “Saya belum berhasil alias gagal!”

Di kantor, Cucu Magek Dirih membiasakan mengikat diri dgn indikator kemajuan pelaksanaan (progress) dari strategi/program dan tingkat keberhasilan (performance). Sejak semula ia berkeinginan menempatkan dirinya sebagai tunduk pada stem/mekanisme yang diberlakukan —untuk semua yang termasuk kreativitas/inovasi pun! Bila pola/sistem/mekanis, dasar pikiran kebijakan, kriteria/ukuran/parameter dari proses, dan parameter/indikator keberhasilan pencapaian tujuan, tersebut belum ada, maka Cucu Magek Dirih akan menyusunnya — kemudian ia pun tunduk pada konsep/pola dan sistem/mekanisme itu. Pikiran/konsep/rancangan kebijakan yang dimilikinya akan disampaikan dalam rapat, lalu dibakukan menjadi ketentuan yang diberlakukan.

Kepada jajarannya, Cucu Magek Dirih akan selalu mengatakan, bahwa mereka harus mengetahui dengan baik apa yang dipikirkan/dirasakan tentang apa yang dihadapi secara internal dan atau eksternal — apa saja asumsi/faktor yang harus diperhitungkan dalam menyusun rencana/menyusun kebijakan (strategi); mereka harus mengetahui dengan baik apa yang menjadi keinginan/tujuan (perusahaan/unit di mana berposisi); mereka harus mengetahui/menguasai dengan baik bagaimana melaksanakan strategi/program; mereka harus mempunyai kriteria/ukuran/parameter proses menuju tujuan/target; dan mereka harus mengetahui dengan baik apakah mereka berhasil atau gagal berdasarkan indikator yang dibakukan. Semua proses pelaksanaan kebijakan/strategi/program harus diarahkan/dikoordinasikan/dikontrol secara ketat — sehingga mereka mengetahui bahwa semua proses masih fokus dalam mencapai tujuan/target (on the right track and do focus to objective).

Cucu Magek Dirih sudah terbiasa dengan management by index/management by ratio. Semua proses/kemajuan pencapaian (progress) dan juga tingkat keberhasilan (performance) diukur dengan sangat ketat (indikator rigid). Untuk itu, semua dibuat dalam matrik. Karena itu pula Cucu Magek Dirih memberlakukan sistem/manajemen matrik. Semua manajer dan staf yang hadir dalam rapat pengendalian (mingguan) dan evaluasi (rapat) bulanan dengan membawa data dalam matrik, dan mereka harus mampu mempresentasikan matrik/angka-angka. Progress and performance dapat dikejar ke tingkat detil/rinci, dan harus dapat dijelaskan. Kenapa satu strategi/program tidak mencapai target, apa sebab dan apa yang diusulkan untuk memperbaikinya dalam satu minggu berikutnya.
Bagi Cucu Magek Dirih, keberhasilan harus dapat dijelaskan dengan saksama — jika perlu detil/rinci. Sebaliknya kegagalan pula harus dapat dijelaskan lebih detil/lebih rinci lagi. Ini dilakukan untuk mengetahui dimana letak sakit/salahnya untuk disembuhkan/diperbaiki agar sistem/strategi/program kembali on the right track and do focus to objective.

Sesungguhnya hal itu lebih dipandang Cucu sebagai semangat — salah satu kunci utama bekerja dalam mencapai tujuan/target. Semangat akan membuat organisasi hidup dan bergairah. Organisasi harus digerakan. Bukan diloko oleh pemimpin, tapi, semangat yang dibangun oleh sang pemimpin. Betapa berat dan amat melelahkan bilamana organisasi diloko pemimpin sendirian (oneman show).

SERINGKALI di antara kita pernah merasakan keberhasilan secara relatif — sebaliknya merasakan kegagalan. Tidak masalah/sama ada keberhasilan atau kegagalan diletakkan dalam kontek personal/pribadi — siapa pun. Atau tidak masalah/sama ada keberhasilan atau kegalan tersebut diletakkan dalam kerangka unit kerja/organisasi/kelembagaan — organisasi kemasyarakatan/organisasi politik dan atau organisasi/perusahaan swasta atau organisasi pemerintah pun. Yang menjadi soal adalah apa kriteria/parameter yang digunakan untuk menyatakan satu keberhasilan dan atau satu kegagalan! Bayangkan kekacauan yang berlaku bilamana proses dan keberhasilan tanpa parameter/indikator.

Sejauh berkaitan dengan/dalam konteks pribadi, keberhasilan dan atau kegagalan akan lebih berupa rohaniah/mental atau psikhologis daripada pisik dan sosial ekonomis. Hal itu sangat bergantung kepada tingkat pengetahuan/latar belakang budaya/lingkungan yang mempengaruhi visi/pertimbangan dan rasa/hati seseorang. Setiap orang dapat saja mempunyai titik perhatian/tujuan yang berbeda-beda. Setiap apa yang menjadi perhatian/kehendak/keinginan/harapan dan tujuan akan berbeda-beda pula kriteria dan parameter serta indikatornya. Jadi, seseorang dapat saja merasa sudah berhasil — walau sebaliknya di mata orang lain, atau sebaliknya ia merasa sudah gagal — walau sebaliknya di mata orang lain. Ini pun tergantung kelurusan pikiran dan kerendahan hati yang bersangkutan. Keberhasilan dan kegagalan dalam konteks personal/pribadi relatif dapat kita pandang/perlakukan/letakkan sedemikian.

Berbeda dengan arti/makna/dampak keberhasilan dan atau kegagalan dalam konteks unit kerja/organisasi/kelembagaan (masyarakat, perusahaan swasta, dan pemerintahan) karena kriteria/parameter/indikator yang dipakaikan tidak lagi bersifat personal/pribadi, tapi, ditentukan/dibakukan/diundangkan — kalaupun secara sosial-budaya ada perbedaan filsafat/sistem nilai yang dianut orang-orang pada satu unit kerja/kelompok masyarakat/satu bangsa dengan yang lain. Sama ada pola nilai/pola pikir/pola kerja-operasi dipengaruhi pendidikan atau filsafat Barat, pendidikan agama/lingkungan religiusitas, dan sistem nilai budaya/kearifan lokal/adat yang berbeda, misalnya.

Jadi soal, bilamana seseorang berada pada dan perbuatannya terkait dalam satu unit kerja/organisasi/kelembagaan (berapa orang dalam satu unit/organisasi masyarakat dan politik/perusahaan swasta dan pemerintahan) menggunakan sistem nilai/kriteria/parameter/indikator secara personalize. Katakan ada seorang pemimpin masyarakat/pemimpin organisasi politik/pimpinan perusahaan/pimpinan pemerintahan menggunakan kriteria/ukuran/parameter/indikator yang dipakainya secara pribadi digunakan/diberlakukannya begitu saja bagi masyarakat/orang banyak tanpa melalui proses demokratisasi. Pemimpin itu akan dipandang otoriter/oneman show — baundang-undang di kapalo. Seharusnya siapa pun pemimpin juga tunduk pada sistem nilai/ketentuan dan kriteria/parameter/indikator baku — bilamana ia punya pemikiran/konsep maka sebaiknya diroses menjadi ketentuan/pedoman yang dibakukan.

BAGAIMANA bila tidak ada kriteria/ukuran/parameter/indikator yang dibakukan sehingga ukuran/parameter/indikator digunakan pemimpin formal/eksekutif bersifat personalize: menurut pemimpin itu sendiri. Presiden/gubernur/bupati dan walikota/kepala desa atau walinagari menyatakan sendiri bahwa ia telah berhasil. Tak diketahui apa yang ada dalam pikiran dan hati pemimpin tersebut? Apa ia mengetahui/menyadari ia benar-benar jujur dan atau benar-benar tidak jujur ketika menyatakan ia telah berhasil — bilamana ia berjujur-jujur pada dirinya maka ia sesungguhnya akan mengatakan bahwa ia tidak/belum berhasil? Entah bagaimana mengukur keberhasilan janji-janji politik para pemimpin ketika berkampanye yang kemudian sudah menjadi hutangnya (setelah rakyat memilih mereka)!?
Katakan pimpinan pemerintahan (pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota — bahkan unit pemerintahan terendah) bekerja dengan kriteria/ukuran/parameter/indikator yang dibakukan dan berlangsung secara terbuka, maka apa pun yang dilakukan pemimpin pemerintahan (presiden, gubernur, bupati/walikota, dan kepala desa/walinagari), misalnya, akan dinilai berdasarkan ukuran/kriteria/parameter/indikator yang dibakukan tadi. Namanya para pejabat publik yang makan gaji/dibiayai kehidupannya oleh rakyat, maka takdirnya adalah apa pun dilakukannya dipandang dan dinilai oleh rakyat — suka/tidak suka. Apalagi pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota, dan kepala desa/walinagari) itu pernah berjanji/menjanjikan — karena janjinya tersebut rakyat memilihnya dan sudah menjadi hutangnya pada rakyat.

Setiap pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota, dan kepala desa/walinagari) akan dinilai keberhasilannya berdasarkan kriteria/ukuran/parameter/indikator, dan bukan berdasarkan pernyataan yang bersangkutan sendiri atau apalagi melalui kampanye keberhasilan yang dibayar mahal — kampanye tentang keberhasilan tersebut sangat sukses — justeru bertujuan agar ia dipilih rakyat. Karena itu, ketika sebuah keberhasilan yang tidak dijelaskan apa kriteria/ukuran dan parameter/indikatornya tidak ada hubungannya dengan keterpilihan. Keberhasilan pemerintahan berhubungan dengan ukuran/kriteria/parameter/indikator — berupa kualitatif pun, sedang keterpilihan pula lebih berhubungan dengan populeritas. Kepentingan politik dan kecanggihan kampanye/pencitraanlah yang membuatnya jadi berhubungan!!

Mungkin merasa berhasil tetap perlu selama hal itu jujur kepada diri sendiri dan Tuhan, dan sebaliknya mungkin — menurut Cucu Magek Dirih — merasa gagal pula lebih diperlukan selama/bilamana jujur kepada diri sendiri dan Tuhan. Biarlah bukan kita sendiri (orang lain) yang menilai kita berhasil! Keberhasilan mungkin sekali karena pembelajaran dari bertumpuk kegagalan. Merasa berhasil dapat membuat kita/yang bersangkutan terminated. Agaknya bukan sekedar kerendahan hati/ketidakberdayaan di hadapan Yang Maha Kuasa/Maha Perkasa, lebih untuk mencamkan kepada diri sendiri bahwa keberhasilan/merasa berhasil hanyalah sebuah hiburan kecil yang bukan untuk dirayakan. Keberhasilan lebih untuk disyukuri agar ke depan akan dapat lebih baik lagi, insya Allah.**

Mengenai Saya

Bekerja sebagai tenaga pemasaran Iklan pada sebuah penerbitan koran lokal yang terbesar di Aceh.